Hari raya Buda Wage Merakih merupakan salah satu upacara penting dalam kalender agama Hindu di Bali, yang memiliki makna mendalam bagi kehidupan spiritual umat Hindu. Perayaan ini tidak hanya dipandang sebagai waktu untuk mempersembahkan doa dan sesaji kepada Dewa Wisnu, tetapi juga sebagai momen untuk memohon kesejahteraan dan kesuburan dalam kehidupan sehari-hari, terutama terkait dengan hasil bumi dan pertanian. Artikel ini akan menguraikan asal-usul, makna filosofis, dan tradisi yang melingkupi hari raya Buda Wage Merakih, serta bagaimana perayaan ini masih dihidupkan dalam kehidupan modern.
Buda Wage Merakih jatuh pada hari Rabu (Buda) dalam wuku Merakih, dan pada tahun 2024 ini Hari Raya Buda Wage Merakih jatuh pada hari Rabu tanggal 13 November 2024. Wuku Merakih merupakan salah satu dari 30 wuku yang ada dalam sistem kalender Pawukon Bali. Pawukon sendiri merupakan siklus kalender unik yang terdiri dari 210 hari, di mana setiap wuku memiliki arti dan makna khusus yang berhubungan dengan aktivitas spiritual, budaya, dan kehidupan sosial masyarakat Bali.
Secara historis, Buda Wage Merakih merupakan hari di mana umat Hindu Bali memberikan persembahan kepada Dewa Wisnu, sang pemelihara alam semesta, yang diyakini berperan dalam menjaga keseimbangan dan kesuburan alam. Dewa Wisnu dipercaya mengatur kehidupan di bumi, termasuk pertanian dan hasil bumi yang menjadi sumber kehidupan manusia. Oleh karena itu, Buda Wage Merakih sering dikaitkan dengan ritual persembahan kepada alam dan sebagai wujud syukur atas hasil pertanian.
Makna Filosofis Buda Wage Merakih
Hari raya Buda Wage Merakih memiliki makna filosofis yang dalam, yang mencerminkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Umat Hindu di Bali meyakini bahwa kesejahteraan manusia sangat bergantung pada keseimbangan alam. Oleh sebab itu, pada hari ini, mereka melakukan upacara persembahan sebagai bentuk rasa syukur atas berkah yang telah diberikan oleh alam, serta memohon kelangsungan keseimbangan dan kesuburan bumi.
Makna simbolis dari Buda Wage Merakih juga mencakup penghormatan terhadap benih-benih kehidupan, terutama benih tanaman yang akan ditanam dan diolah untuk keberlangsungan hidup umat manusia. Persembahan dalam upacara ini juga mencerminkan harapan akan panen yang melimpah dan hasil bumi yang subur. Filosofi ini sangat relevan bagi masyarakat agraris di Bali, yang hingga kini masih bergantung pada hasil pertanian sebagai salah satu sumber utama kehidupan.
Tradisi dan Rangkaian Upacara
Pada hari Buda Wage Merakih, umat Hindu di Bali mengadakan berbagai ritual dan upacara sebagai bagian dari tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun. Salah satu tradisi utama adalah membuat persembahan berupa sesajen yang terdiri dari buah-buahan, bunga, dan berbagai hasil bumi. Sesajen ini dipersembahkan kepada Dewa Wisnu di pura-pura, terutama di pura yang berhubungan dengan pertanian, seperti Pura Subak dan Pura Ulun Danu, yang diyakini sebagai tempat suci untuk memohon kesuburan sawah dan ladang.
Ritual lainnya termasuk ngaturang canang (persembahan sederhana) yang dipersembahkan di halaman rumah atau di sawah. Persembahan ini biasanya dilakukan oleh para petani sebagai bentuk rasa syukur atas berkah dari alam dan harapan untuk hasil panen yang melimpah. Pada beberapa daerah di Bali, upacara ini juga disertai dengan kegiatan gotong-royong membersihkan area persawahan atau ladang, yang tidak hanya memiliki nilai spiritual, tetapi juga sosial.
Selain itu, terdapat pula upacara pemujaan khusus yang dilakukan di rumah tangga Hindu Bali. Keluarga-keluarga di Bali pada hari ini memohon kepada Dewa Wisnu agar keluarga mereka diberikan kesehatan, rejeki, serta kemakmuran, terutama yang berhubungan dengan hasil bumi. Upacara ini juga sering diiringi dengan tabuhan gamelan Bali dan tari-tarian yang dipersembahkan sebagai bagian dari prosesi penghormatan.
Buda Wage Merakih dalam Kehidupan Modern
Meskipun perayaan Buda Wage Merakih berakar kuat pada tradisi agraris, dalam kehidupan modern upacara ini tetap relevan dan dijalankan dengan penuh kesadaran spiritual oleh umat Hindu di Bali. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak masyarakat Bali yang telah beralih profesi dari petani menjadi pekerja di sektor pariwisata atau industri lainnya. Namun, penghormatan terhadap alam dan hasil bumi tetap menjadi bagian integral dari budaya Bali yang tidak tergantikan.
Dalam konteks modern, Buda Wage Merakih juga dipandang sebagai momen untuk merefleksikan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Umat Hindu di Bali diingatkan untuk terus menjaga alam, tidak hanya demi kesejahteraan manusia saat ini, tetapi juga demi keberlangsungan hidup generasi mendatang. Kesadaran akan pentingnya menjaga hubungan harmonis dengan alam semakin diperkuat dengan adanya gerakan konservasi lingkungan yang selaras dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam ajaran agama Hindu.